Lembaga dan jabatan kedokteran sebenarnya adalah suatu profesi yang mulia dan seharusnya terpercaya, sehingga wajib untuk dipercaya statementnya dalam memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur operasional (vide Pasal 51 huruf a Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran).
Jabatan kedokteran tersebut sama terpercayanya dengan misalnya jabatan Notaris, Akuntan, atau (putusan) Hakim, dan jabatan-jabatan profesi lainnya yang sejenis. Artinya apapun kata dokter: sakit, sehat, istirahat, atau harus dirawat, ataukah sudah dapat pulang (sembuh), semuanya wajib dipercaya oleh pihak yang berkepentingan.
Dengan demikian kalau pasien yang menyatakan sakit dan memang ada surat keterangan sakit dari dokter yang berwenang dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya (dalam arti, benar-benar diterbitkan oleh seorang dokter yang berwenang dan sesuai profesi), maka surat keterangan dokter tersebut wajib untuk dapat dipercaya kebenaran pernyataannya. Tegasnya, jika dalam surat tersebut dinyatakan bahwa pasien yang bersangkutan dinyatakan sakit, maka perusahaan wajib mempercayainya.
Permasalahannya, bagaimana jika ada keraguan terhadap surat keterangan dokter dimaksud, seperti kecurigaan mungkin hanya berpura-pura sakit, tentunya bukan si pasien (karyawan)
yang harus disalahkan dan dikenakan sanksi, akan tetapi dokter yang
menerbitkan pernyataan itulah yang harus ditelusur, apakah ia berbohong
atau mengeluarkan pernyataan palsu.
Walaupun
tidak tertutup kemungkinan si pasien yang menyalahgunakan
melakukan pemalsuan surat keterangan dokter (alias “aspal”). Hal ini
bisa dikenakan sanksi pidana pemalsuan (sesuai Pasal 263 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Wetboek van Straftecht – “KUHP”), dan/atau juga sanksi keperdataan, no work no pay (sesuai Pasal 93 ayat (1) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan). Mengenai no work no pay, dapat dilihat dalam artikel yang berjudul Surat Dokter dan Prinsip 'No Work No Pay'.
Akan
tetapi, jika memang dapat dibuktikan atau setidaknya patut dapat diduga
bahwa seorang dokter mengeluarkan pernyataan yang tidak benar dan/atau
menyimpang dari kode etik kedokteran, maka oknum dokter yang
bersangkutan itu harus dilaporkan kepada pihak yang berwajib dan bisa
dikenakan sanksi (punishment) sesuai ketentuan. Bahkan sanksinya
bukan hanya pelanggaran kode etik profesi atau sanksi keperdataan, akan
tetapi kemungkinan dapat dikenakan sanksi pidana penjara (vide Pasal 242 ayat (1) KUHP).
Dasar Hukum:
0 comments:
Post a Comment