Budaya hukum sangat erat hubungannya dengan kesadaran hukum dan diwujudkan dalam bentuk prilaku sebagai cermin kepatuhan hukum di dalam masyarakat. Di dalam budaya hukum itu dapat dilihat suatu tradisi prilaku masyarakat kesehariannya yang sejalan dan mencerminkan kehendak undang-undang atau rambu-rambu hukum yang telah ditetapkan berlaku bagi semua subyek hukum dalam hidup berbangsa dan bernegara. Di dalam budaya hukum masyarakat dapat pula dilihat apakah masyarakat kita dalam kesadaran hukumnya sungguh-sungguh telah menjunjung tinggi hukum sebagai suatu aturan main dalam hidup bersama dan sebagai dasar dalam menyelesaikan setiap masalah yang timbul dari resiko hidup bersama.
Namun kalau dilihat secara materiil, yang di dalam hukum pembuktian
pidana selalu berpegang pada kebenaran yang senyatanya terjadi yang
dalam hal ini disebut dengan kebenaran materiil, ternyata sungguh sulit
membangun budaya hukum materiil di negeri ini, hal ini menunjukkan bahwa
sesungguhnya kesadaran hukum masyarakat saja tidak cukup membangun
budaya hukum di negeri ini, karena kesadaran hukum masyarakat masih
bersifat abstrak, belum merupakan bentuk prilaku yang nyata, sekalipun
masyarakat kita baik secara instinktif, maupun secara rasional
sebenarnya sadar akan perlunya kepatuhan dan penghormatan terhadap hukum
yang berlaku.
Oleh karenanya sekalipun masyarakat kita sadar terhadap hukum yang
berlaku di negaranya, belum tentu masyarakat kita tersebut patuh pada
hukum tersebut. Kepatuhan terhadap hukum adalah merupakan hal yang
substansial dalam membangun budaya hukum di negeri ini, dan apakah
sebenarnya kepatuhan hukum itu ?.
Kepatuhan hukum adalah kesadaran kemanfaatan hukum yang melahirkan
bentuk “kesetiaan” masyarakat terhadap nilai-nilai hukum yang
diberlakukan dalam hidup bersama yang diwujudkan dalam bentuk prilaku
yang senyatanya patuh terhadap nilai-nilai hukum itu sendiri yang dapat
dilihat dan dirasakan oleh sesama anggota masyarakat.
Perlu Penulis tegaskan lagi, bahwa kepatuhan hukum masyarakat pada
hakikatnya adalah kesadaran dan kesetiaan masyarakat terhadap hukum yang
berlaku sebagai aturan main (rule of the game) sebagai konsekuensi
hidup bersama, dimana kesetiaan tersebut diwujudkan dalam bentuk prilaku
yang senyatanya patuh pada hukum ( antara das sein dengan das sollen
dalam fakta adalah sama) .
Secara a contra-rio jika di dalam masyarakat banyak kita dapatkan bahwa
masyarakat tidak patuh pada hukum hal ini dikarenakan individu dan
masyarakat dihadapkan pada dua tuntutan kesetiaan dimana antara tuntutan
kesetiaan yang satu bertentangan dengan tuntutan kesetiaan lainnya.
Misalnya masyarakat tersebut dihadapkan pada pilihan setia terhadap
hukum atau setia terhadap “kepentingan pribadinya”, setia dan patuh pada
atasan yang memerintahkan berperang dan membunuh atau setia kepada hati
nuraninya yang mengatakan bahwa membunuh itu tidak baik, atau yang
lebih umum seperti yang sering terjadi masyarakat tidak patuh pada
aturan lalu-lintas, perbuatan korupsi, perbuatan anarkisme dan main
hakim sendiri (eigen rechting) karena mereka lebih mendahulukan setia
kepada kepentingan pribadinya atau kelompoknya, dll.
Apalagi masyarakat sekarang ini menjadi lebih berani tidak patuh pada
hukum demi kepentingan pribadi karena hukum dalam penegakannya mereka
nilai tidak mempunyai kewibawaan lagi, dimana penegak hukum karena
kepentingan pribadinya pula tidak lagi menjadi penegak hukum yang baik,
penegakan hukum dirasakan diskriminatif . Sehingga dalam hal ini,
kesetiaan terhadap kepentingan pribadi menjadi pangkal tolak mengapa
manusia atau masyarakat kita tidak patuh pada hukum.
Jika faktor kesetiaan tidak dapat diandalkan lagi untuk menjadikan
masyarakat patuh pada hukum, maka negara atau pemerintah mau tidak mau
harus membangun dan menjadikan rasa takut masyarakat sebagai faktor yang
membuat masyarakat patuh pada hukum. Wibawa hukum akan dapat dirasakan
jika kita punya komitmen kuat, konsisten dan kontiniu menegakkan hukum
tanpa diskriminatif, siapapun harus tunduk kepada hukum, penegakan hukum
tidak boleh memihak kepada siapapun dan dengan alasan apapun, kecuali
kepada kebenaran dan keadilan itu sendiri. Disitulah letak wibawa hukum
dan keadilan hukum.
Namun jika hukum diberlakukan secara diskriminatif, penuh rekayasa
politis, tidak dapat dipercaya lagi sebagai sarana memperjuangkan hak
dan keadilan, maka jangan disalahkan jika masyarakat akan memperjuangkan
haknya melalui jalur kekerasan atau hukum rimba atau kekerasan fisik
(eigen rechting).
Dalam banyak fakta sekarang ini Indonesia telah mengalami krisis
kepatuhan hukum karena hukum telah kehilangan substansi tujuannya, dan
buadaya prilaku masyarakat telah memandang hukum ditegakkan secara
diskriminatif dan memihak kepada kepentingan tertentu bagi orang-orang
berduit, dan berkuasa. Quo Vadis Penegakan Hukum Indonesia…??
Sumber : www.kantorhukum-lhs.com
0 comments:
Post a Comment